Sejarah Mahakam - Berita Terupdate & Berimbang

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Kamis, 20 Oktober 2016

Sejarah Mahakam

Hasil gambar untuk gambar sungai mahakam

Mahakam terbelah dua, yakni Mahakam Tengah (middle-mahakam) dan Mahakam Ulu (upper-mahakam). Mahakam Tengah mencakup seluruh wilayah yang sampai abad ke 19 dikuasai secara langsung oleh Kesultanan Kutai, yang terentang dari muara sungai di Selat Makassar hingga ke wilayah Long Iram sejauh kira-kira 500 km dari muara ke hulu (separuh panjang sungai). Pada saat itu Sultan Kutai terlarang bepergian ke hulu melebihi Gunung (bukit) Sendawar yang terletak di antara Melak dan Long Iram, meskipun bukan berarti Sultan tidak berkehendak meluaskan kekuasaannya hingga ke hulu. Beberapa kali para Sultan Kutai memaksa para pemimpin Dayak di hulu untuk datang ke Tenggarong sebagai pernyataan tunduk dan kesetiaan.
Wilayah Mahakam Tengah merupakan wilayah multietnis. Sejak berabad-abad, daerah tersebut menjadi tempat tinggal Orang Kutai dan Orang Dayak –khususnya Benuaq, Tunjung dan Bentian– serta Jawa, Bugis dan Banjar. Secara tradisional, daerah aliran sungai Mahakam  wilayah tengah ke hilir menjadi rumah bagi Orang Kutai. Tentang asal-usulnya belum jelas benar. Ada pendapat yang menyatakan bahwa mereka adalah Orang Dayak atau Melayu atau bahkan Jawa yang memeluk Hindu. Kerajaan Kutai pertama pada tahun 400-an adalah hasil bentukan mereka. Belakangan, setelah Islam masuk sekitar tahun 1600-an, identitas Islam menjadi identitas komunitas tersebut. Mereka yang masuk Islam akan disebut Kutai, sedangkan yang tidak, akan disebut Dayak. Jadi, Orang Dayak adalah sebutan bagi komunitas-komunitas yang belum memeluk Islam. Ketika Orang Dayak memeluk Islam, maka mereka menjadi Orang Kutai. Hal itu persis dengan terminologi yang digunakan oleh Suku Anak Dalam di Jambi, Sumatera, dalam mengidentifikasikan diri: mereka adalah Orang Rimba atau Suku Anak Dalam apabila masih memeluk agama nenek moyang dan tinggal di dalam hutan, namun menjadi Orang Terang atau Melayu apabila memeluk Islam.
Wilayah Mahakam Tengah bagian atas (wilayah Kutai Barat saat ini) merupakan rumah utama bagi komunitas Dayak Benuaq, Tunjung dan Bentian, yang oleh para ahli dikelompokkan sebagai satu rumpun besar kelompok Barito. Meskipun memiliki bahasa yang relatif berlainan, tetapi budayanya relatif mirip satu sama lain. Salah satu yang mencolok adalah ritus penguburan kedua bagi mereka yang telah meninggal.
Orang Bugis mulai datang dari Sulawesi dan menetap di tepian Mahakam sejak tahun 1686, dan mendirikan pos perdagangan Samarinda antara tahun 1720-1730. Akan tetapi, sampai akhir 1850, orang Bugis terlarang melakukan perdagangan di luar Tenggarong/Samarinda. Setelah pembebasan larangan tersebut, pada tahun 1885 orang Bugis sudah menetap sejauh hingga Melak, Bohoq, Muara Benangaq dan Muara Pahu. Bersama orang Banjar mereka lantas mendominasi perdagangan di sepanjang Mahakam.
Orang Banjar datang lebih belakangan dibanding orang Bugis. Kebanyakan menetap di daerah Muara Muntai dan Penyinggahan yang lokasinya mirip dengan lokasi asal mereka di Kalimantan Selatan, yakni daerah berair dan danau. Sampai sekitar seabad lalu, Orang Banjar memiliki peran unik sebagai penghubung perdagangan dengan Orang Dayak, dalam suatu ‘perdagangan bisu’, karena masing-masing tidak mengerti bahasa yang lain. Jadi, mereka bertransaksi dengan cara unik yang tidak membutuhkan penggunaan bahasa lisan.
Orang Jawa telah datang ke Mahakam jauh lebih dini ketimbang Orang Bugis. Mereka ikut berperan dalam penyebaran Hindu, dan berperan dalam pendirian kerajaan Kutai. Sebagai bukti, ada banyak kosakata dan istilah jawa yang dipakai di kerajaan Kutai. Tercatatnya nama Kutai dalam Kitab Negarakertagama pada tahun 1365 juga membuktikan hal tersebut. Akan tetapi, kedatangan besar-besaran komunitas Jawa di Mahakam baru dimulai setelah era Perang Dunia II dan terutama setelah diluncurkannya program resmi transmigrasi oleh Pemerintah Indonesia di tahun 1960-an.
Mahakam Ulu terentang dari Long Iram mengular sejauh kira-kira 500 km ke utara hingga ke sumber-sumber air di Pegunungan Muller. Secara prinsip, Mahakam Ulu merupakan daerah bebas tanpa kesatuan politik, yang dikuasai oleh komunitas-komunitas Dayak dengan pemimpinnya masing-masing. Secara umum, dengan komunitas-komunitas Orang Dayak di hulu, Sultan Kutai hanya menjalin persekutuan namun tidak menguasai mereka secara langsung. Pada tahun 1900, Mahakam Ulu mulai dikontrol langsung oleh Belanda, dan pada tahun 1908, Kesultanan Kutai melepaskan total wilayah Mahakam Ulu untuk dikontrol langsung di bawah Pemerintah Belanda, dengan kompensasi tahunan mencapai 12,900 guilders. Sekitar setahun sebelumnya, pada 1907, para misionaris Katolik mulai memasuki wilayah Mahakam Ulu dan mendirikan pos di Laham.
Pada tahun 2012, Mahakam Ulu yang mencakup kecamatan Long Hubung, Laham, Long Bagun, Long Pahangai dan Long Apari memisahkah diri dari Kutai Barat untuk membentuk kabupaten sendiri. Ibukota yang dipilih adalah wilayah Ujoh Bilang yang berada di kecamatan Long Bagun. Lokasinya persis di tepian Mahakam.
Saat ini, komunitas di sepanjang sungai Mahakam sangat beragam. Praktis, hampir semua etnis ada, dari etnis yang dianggap asli Kalimantan, seperti Kutai, Banjar dan berbagai varian komunitas Dayak, hingga Jawa, Bugis, Madura, Bali, Toraja, Batak, Sumbawa, Timor, Ternate, Ambon, dan sebagainya. Mahakam adalah sebuah Indonesia kecil. Pada wilayah Kutai Barat dan Mahakam Ulu, penduduk mayoritas adalah Orang Dayak; dan pada wilayah Kutai Kartanegara dan Samarinda, penduduk mayoritas adalah Orang Kutai dan Banjar, dengan sejumlah besar Orang Bugis. Meskipun Orang Jawa merupakan komunitas non-Kalimantan pertama di Mahakam, tapi di semua tempat jumlahnya hanya minoritas kecil.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here